Sabtu, 15 November 2014

TEOLOGI BIBLIKA - PERJANJIAN BARU

TEOLOGI PERJAMUAN KUDUS
“Perjamuan Kudus Tanda Kesatuan Jemaat di dalam Kristus (Unio Mystica) ”
1Korintus 11: 17-34

Tugas Teologi Biblika II (Perjanjian Baru)

Oleh : Joki Manaek Manalu
Mahasiswa STT-HKBP Pematangsiantar
I.         Pendahuluan
Di dalam ajaran Kristen Protestan yang dibawa oleh aliran Lutheran, mengenal 2 Sakramen yaitu Baptisan Kudus dan Perjamuan Kudus. Perjamuan Kudus merupakan tanda atau materai yang menyatakan bahwa dosa manusia telah diampuni dan menerima keselamatan melalui peristiwa kematian Yesus. Dan hal inilah yang selalu diulang orang Kristen dalam Perjamuan Kudus, yaitu memperingati peristiwa kematian Yesus dan pengorbanan bagi manusia. Lebih daripada itu, pelaksanaan Perjamuan Kudus memberi makna dimana orang Kristen masuk dalam persekutuan didalam Kristus. Hal inilah yang akan mendapat penekanan didalam paper yang menjadi bagian dari Tugas Akhir Semester mata kuliah Teologi Biblika PB, agar jemaat Kristen benar-benar mampu memahami dan memaknai sakramen di ditengah-tengah kehidupan ke Kristenan, khususnya mengenai Perjamuan Kudus yang merupakan anugerah Allah kepada manusia, dimana seluruh manusia diundang didalamnya untuk menerima keselamatan dan masuk kedalam persekutuan didalam Yesus Kristus.

II.       Etimologi dan Terminologi
Perjamuan Kudus atau Sakramen Ekaristi awalnya belum disebut dengan Ekaristi/Perjamuan Kudus. Namun berangkat dari perjamuan malam terakhir yang diadakan Yesus kepada murid-muridnya menjelang ia ditangkap . Istilah "ekaristi" yang berasal dari bahasa Yunani  ευχαριστω, yang berarti berterima kasih atau bergembira, istilah ini lebih sering digunakan oleh gereja Katolik, Anglikan, Ortodoks Timur, dan Lutheran, sedangkan istilah Perjamuan Kudus digunakan oleh gereja Protestan. Jadi pelaksanaan Perjamuan Kudus adalah peringatan akan peristiwa kematian dan penebusan dosa manusi oleh Yesus melalui kematiannya di Kayu Salib. Perjamuan Kudus didasari pada perjamuan makan malam yang lazim di Israel Kuno.[1] Roti dan anggur merupakan makanan dan minuman pokok masyarakat Timur Tengah. Dalam perkembangan terakhir ini para ahli mengenal perjamuan kudus dengan beberapa sebutan yakni perjamuan akhir dan pemecahan roti. Dalam hal ini meskipun ada dua kata yang berbeda namun tetap memilki arti yang sama. Pada awalnya dalam PL biasanya perjamuan diadakan untuk memperingati hari kelepasan mereka dari tanah perbudakan Mesir dan hal ini merupakan sebuah tradisi yang mereka rayakan setiap tahunnya ( bnd. Mrk. 14: 1,2, 12- 16 ; Yoh. 13: 21- 30). Dan dalam pelaksanaannya orang- orang Israel akan mencelupkan sepotong roti kedalam kuah Kharoset yang akan mengigatkan mereka dengan kepahitan perbudakan di Mesir.[2]
Perjamuan Kudus yang diadakan Yesus , berhubungan dengan upacara Paskah Yahudi. “Pesakh” berasal dari bahasa Ibrani yakni “Pasakh”, artinya “berlalu” atau “melewati/ lewat”. Kemudian dalam bahasa Indonesia disebut dengan kata Paskah. Dalam Kel. 12:13, Allah berjanji bahwa hukumannya akan berlalu pada pintu- pintu yang diberi tanda dengan darah anak domba Paskah. Artinya, Paskah menyatakan perjanjian yang diadakan Allah dengan Israel untuk kelepasan bangsa tersebut dari perbudakan di Mesir ( Ul. 16:1 ). Dalam Perjanjian lama orang Yahudi belum mengenal apa itu perjamuan kudus, namun dalam tradisi PL, mereka ( orang Yahudi ) sudah melakukannya sejak lama dan ini merupakan tradisi Yahudi yang sudah mereka lakukan dari tahun ketahun dari masa yang lalu hingga saat ini. Dalam pemahaman Yahudi  Perjamuan Kudus dimengerti dengan sebutan Perjamuan bersama dimana mereka sekeluarga atu teman -teman terdekat mereka akan makan semeja dan mereka juga akan memberikan sebuah korban persembahan kepada Allah ( lih. Ul. 12: 7) .[3]  Perjamuan makan ( perjamuan Paskah ) ini, memiliki sebuah arti yakni untuk menoleh atau melihat kebelakang serta menghayati bagaimana Yahwe mengeluarkan nenek moyang mereka dari tanah perbudakan di Mesir ( lih. Kel. 12: 24 ).[4]  Oleh karena itu, perayaan ini sangat menekankan kesadaran dari bangsa Israel atas rahmat Yahwe akan kelepasan yang telah mereka terima dari Yahwe sendiri.

III.             Perjamuan Kudus Menurut Pandangan Para Tokoh Reformasi
·         Marthin Luther
Dalam pemahaman Luther tentang Perjamuan Kudus disebut Kon-substansiasi (kon yaitu sama-sama, substansi yaitu hakikat): roti dan anggur itu tidak berubah menjadi tubuh dan darah Kristus (trans-substansiasi). Tetapi tubuh dan darah Kristus mendiami roti dan anggur itu sehingga terdapat dua zat atau substansi yang sama-sama terkandung dalam roti dan anggur itu. Aliran Lutheran memahami bahwa Kristus benar-benar hadir dalam Perjamuan Kudus tanpa merubah substansi roti dan anggur. Makna kehadiran Kristus diterima, ketika yang menerima Perjamuan Kudus percaya tentang firman Tuhan yang diberitakan melalui Perjamuan Kudus dan percaya kepada penebusan yang dilakukan oleh Yesus Kristus. Hal inilah yang menjadikan roti dan anggur dalam teologi mengenai sakramen perjamuan kudus menjadi sangat sakral dikarenakan adanya paham mengenai roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus.[5]
·         Calvin
Johannes Calvin dalam pemahaman dan ajarannya berbeda dengan Luther dengan menolak pandangan bahwa tubuh Kristus turun dari Sorga untuk memasuki roti dan anggur Perjamuan Kudus, apalagi untuk hadir dimana saja Perjamuan Kudus. Menurutnya, tubuh Kristus setelah naik ke Sorga, hadir di sebelah kanan Allah Bapa, sebagai jaminan kebangkitan tubuh manusia pada akhir zaman. Jadi untuk dipersatukan dengan tubuh dan darah Kristus, manusia harus diangkat ke Sorga. Namun bukan berarti manusia diangkat secara jasmaniah tetapi diangkat secara rohaniah karena hatinya diarahkan ke atas (sursum corda). Calvin menolak kehadiran jasmani dalam Perjamuan Kudus. Bagi Calvin, Perjamuan Kudus bukanlah tanda kosong sebab tanda ini diberikan Allah melalui AnakNya supaya orang percaya melalui roti dan anggur betul-betul dipersatukan dengan tubuh dan darah Kristus karena kelemahan manusia tanda ini mutlak perlu sebagai tambahan kepada firman yang diberitakan. Untuk pemahaman penyatuan dengan Kristus kepada orang percaya hanya dapat dimengerti kalau diperlihatkan dalam upacara makan roti dan minum anggur yang merupakan penerimaan atas anugerah dari Kristus.[6]

IV.         Latar Belakang Surat I Korintus
Paulus mendirikan gereja di Korintus pada saat perjalanan penginjilannya yang kedua. Sedangkan surat 1 Korintus dituliskannya saat perjalanannya dari Efesus atau ketika perjalanan penginjilannya yang ketiga. Paulus menulis surat 1 Korintus sekitar tahun 95/96 M, yang dapat dibuktikan oleh Klemens dari Roma. Bukti kunjungan Paulus ke Korintus dapat dilihat dari sebuah prasati dari Kaisar Claudius yang ditemukan di Delphi, dan merujuk kedatangan Paulus sekitar tahun 49/50 M.[7] Ketika jemaat Korintus mengirimkan surat kepada Paulus yang berisikan pertanyaan-pertanyaan yang menandakan suatu ketidakpastian dan keraguan dalam jemaat Korintus serta meminta nasihat dari Paulus karena Paulus yang mendirikan jemaat di Korintus. Jemaat di Korintus mengalami banyak masalah atas rupa-rupa yang menyebabkan kesalahpahaman dalam jemaat itu sendiri. Jemaat Korintus dengan segala kebebasan pribadi dan karunia yang mencolok sangat mengagungkan “pengetahuan” (gnostik) dan pemilikan Roh yang mereka gunakan untuk berhubungan dengan pelacur (1 Kor. 6:13) serta penyembahan kepada berhala (1 Kor. 8:1). Mereka yang mengakui memiliki Roh membantah adanya kebangkitan di masa depan (Psl. 15), serta memberi nilai tinggi pada sakramen-sakramen bukan terutama suatu perayaan saat persekutuan gereja, tetapi menjadikan suatu sarana untuk memperoleh jaminan keselamatan (1 Kor. 10:1 dyb 11:17). Yesus yang duniawi adalah keharaman bagi mereka, dan hanya Kristus yang rohani yang berarti bagi mereka (1 Kor.12:13). Banyak masalah yang dihadapi Paulus yang tertulis dalam 1 Korintus, dan tujuan Paulus yaitu menghalau pengaruh Gnostik yang telah menyebar dan masuk dalam dalam gereja di Korintus. Sudut pandang Gnostik sangatlah bertentangan dengan kekristenan, karena orang Kristen memiliki Roh dan karena itu menjadi orang merdeka namun bukan untuk disalahgunakan,  tetapi digunakan untuk kepentingan banyak orang dalam usaha membangun gereja di dalam kasih.[8]

V.          Tafsiran 1 Korintus 11: 17-34 menurut V. C. Pfitzner (BPK-GM) dan Bob Utley (Bible Leson International, Marshall, Texas)
Paulus melihat permasalahan yang terjadi di Jemaat Korintus, mengenai penyalahgunaan injil dan mengenai perayaan Perjamuan Tuhan (sekarang Perjamuan Kudus).

Ayat 17 :
Maksud ibadah adalah untuk membangun pertumbuhan rohani di dalam iman, seperti Allah melayani orang kudusNya, sambil mereka saling melayani sesamanya, dan melayani Allah dengan kurban pujian mereka. Namun yang terjadi di Korintus sangat berbeda, jemaat berkumpul bukan untuk kebaikan, tetapi keburukan. Mereka datang ke gereja bukan pulang dengan pengampunan dan berkat Allah, tetapi mengundang penghakiman ilahi.[9] Lebih jelas menurut Utley, muncul sikap sombong dari beberapa orang percaya di Korintus dimana mereka menekankan sikap elitisme mereka, menekankan kebebasan pribadi, dan pemikiran mereka mengenai kebijaksanaan, dalam perjamuan kasih berubah menjadi suatu perjamuan yang mengacu pada hak, kemampuan, dan status yang menjadi lebih tinggi dari kasih dan pelayanan.[10]
Ayat 18 :
Orang-orang Kristen yang berkumpul sebagai jemaat yang seharusnya menunjukan kesatuan sebagai umat Allah yang baru, tetapi jemaat Korintus mengadakan ibadah umum malah menunjukkan perpecahan dan bukan kesatuan. Perpecahan yang terjadi disebabkan oleh maslah sosial dan ekonomi, diman perjamuan biasa menunjukkan perbedaan kelas yang tajam antara orang kaya dan miskin.[11]
Ayat 19 :
Dalam ayat ini Paulus menjelaskan, bahwa perpecahan itu harus ada dengan merujuk bahwa hal itu terjadi atas kehendak Allah, bukan dorongan manusia. Karena melalui perpecahan di dalam gereja akan nyata dan terlihat siapa diantara jemaat yang tahan uji. Dalam hal perpecahan juga harus menunjukkan kehadiran Injil dalam melihat kebenaran Allah.[12] menjelaskan lagi, maksud dari perpecahan jemaat dikarenakan isu yang muncul dalam jemaat, seperti adanya orang yang percaya terhadap ajaran palsu.  Ada suatu tujuan teologis yang ingin dilihat Paulus dari perpecahan itu, yaitu untuk melihat kedewasaan jemaat ketika menghadapi suatu perpecahan (melihat siapa yang tahan uji).[13]

Ayat 20 :
Ketika orang Kristen berkumpul bersama, perkumpulan itu disebut umat Allah yang berkumpul di sekitar firman dan sakramen-sakramen. Dan pusat ibadah orang Kristen adalah Perjamuan Tuhan, makanan yang kudus yang telah ditetapkan-Nya sendiri pada malam menjelang kematian-Nya. Perjamuan Kudus disini dan maknya berasal dari Yesus yang historis dan praktik-praktik gereja mula-mula di Yerusalem. Perjamuan makan pada mulanya dilembagakan dalam kerangka perjamuan Paskah yang lengkap, dan orang-orang Kristen mula-mula melanjutkan praktik “memecah roti” bersama-sama sebagai tanda persekutuan mereka. Dalam Yudaisme, perjamuan makan adalah persekutuan rohani. Bahkan Yesus sendiri pernah makan dengan para pemungut cukai dan orang-orang berdosa. Setelah kebangkitan, Tuhan menyatakan diri-Nya kepada para murind-Nya melalui “memecah roti”.[14]
Ayat 21 :
Dalam perjamuan-perjamuan kasih, terjadi suatu kesenjangan antara orang kaya dan miskin, egois menguasai diri mereka. Dimana diantara mereka ada yang memakan dahulu makanannya sendiri tanpa memperdulikan siapa yang yang belum hadir dalam perjamuan itu. Digambarkan orang-orang yang terlambat adalah para pelayan dan hamba yang tuan-tuannya anti-Kristen atau yang waktu luangnya terbatas. Sehingga, ketika orang yang lapar datang, yang lain sudah mabuk (kekenyangan makan dan minum), dan yang lapar menjadi tidak kedapatan makan dan minum.[15] Gereja mula-mula menggabungkan perjamuan Tuhan dan suatu perjamuan persekutuan yang disebut “Agape”, muncullah keegoisan dan kerakusan karena perbedaan sosial, bukan lagi kasih yang ditunjukkan sebagaimana yang diajarkan Yesus. Gereja Korintus tidak percaya mereka satu dalam Kristus.[16]
Ayat 22 :
Paulus melihat penyalahgunaan perjamuan makan itu, dimana orang-orang Korintus menghinakan Jemaat Allah dengan menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki kasih dan perhargaan terhadap sesama anggota jemaat. Sehingga perilaku yang tidak mengenal kasih itu yang memecah belah jemaat sama seperti ajaran sesat, hanya membawa penghinaan kepada umat Allah secara keseluruhan. Sama saja perilaku tersebut adalah penyangkalan terhadap panggi;an Allah yang penuh kasih karunia, yang telah memanggil segala jenis orang ke dalam persekutuan gereja.[17]
Ayat 23 :
Paulus meluruskan segala sesuatunya dengan mengingatkan mereka akan injil sakramen yang terdapat di dalam tradisi yang pernah diteruskannya kepada mereka. Dengan mengutip perintah penyelenggaraan Perjamuan Kudus sebagai tradisi suci, dia tidak memberikan pengajaran yang baru, melainkan mengingatkan para pembacanya akan sebuah rumusan yang sudah dikenal. Sesungguhnya, Allah sendirilah yang menyerahkan Anak-Nya sebagai kurban bagi dosa. Tradisi yang dikutip Paulus pada mulanya berasal dari Paskah Kristen pertama yang besar, yang dirayakan kembali setiap orang Kristen berkumpul pada perjamuan Tuhan. Setiap Paskah Yahudi adalah perayaan tentag tindakan Allah yang besar dalam menyelamatkan Israel dari perbudakan di Mesir. Setiap perayaan Kristen akan sakramen memberitakan tindakan kebebasan yang jauh lebih besar lagi.[18] Dalam perjamuan, Yesus tidak menggunakan anak domba Paskah sebagai simbol, karena terlalu kuat dengan Perjanjian Lama. Sehingga Roti menjadi simbol baru persatuan.[19]
Ayat 24 :
Yesus mengucap syukur saat perjamuan makan dengan murid-murid-Nya, lalu membagi-bagikan potongan roti menjadi bagian dari liturgi Paskah. Lalu Yesus berkata “Inilah tubuh-Ku, yang diserahkan bagi kamu”. Disini Yesus menciptakan hubungan antara penyerahan tubuh-Nya pada saat ini dan kematian-Nya yang akan segera tiba. Tubuh-Nya akan diserahkan pada salib sebagai ganti dosa umat manusia.[20] Yesus menggunakan roti yang terpecah sebagai dari tubuh rusak-Nya di Kalvari. Sebagaiman roti yang memberikan pertumbuhan fisik dan kehidupan kepada mereka yang memakannya. Demikianlah tindakan Yesus memberikan kehidupan rohani kepada mereka yang menerimanya.[21]
Ayat 25 :
Setelah melakukan pemecahan roti, Yesus mengucapkan kata-kata tentang cawan yang mengacu pada isi cawan tersebut. Gereja mula0mula memahami bahwa Yesus adalah domba Paskah yang sempurna. Disini Yesus berbicara tentang pembentukan suatu perjanjian yang baru melalui kematian-Nya, kematian yang bermakna pengampunan dan pembebasan dari dosa. Istilah daging dan darah adalah ungkapan kurban sebagai bagian yang terpisah dari si korban. Roti dan Anggur adalah lambang kematian Kristus yang berada dalam kematian demi dosa banyak orang.[22] Perjanjian baru yang dimaksud dalam perkataan Yesus memiliki makna suatu wasiat atau pesan terakhir, seperti yang dimaksudkan Yeremia bahwa Perjanjian Allah itu bersifat tergantung pada suatu respon pertobatan iman.[23]
Ayat 26 :
Dalam komentar Paulus sendiri, bahwa mengingat Tuhan berarti lebih dari sekedar mengenang masa lalu. Tidak petunjuk tentang berapa kali orang Kristen harus makan roti dan minum cawan. Perjamuan Tuhan jelas mengenang peristiwa-peristiwa penyelamatan di masa lalu, dan juga berarti partisipasi di dalam kehadiran yang menyelamatkan. Pada setiap Perjamuan, orang Kristen memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang.[24]
Ayat 27 :
Perjamuan Tuhan yang dilakukan dengan tidak layak, yaitu tidak sesuai dengan hakikat dan karunia sakramen. Dituntut pertobatan atau iman yang benar dalam melakukan Perjamuan Tuhan, tidak mungkin ada perjamuan yang layak jika tidak sesuai dengan hakikat sakramen. Karena, cara makan dan minum yang tidak layak membuat orang berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan. Dosa yang dimaksud adalah memperlakukan sesuatu yang suci dan kudus seperti sesuatu yang biasa saja. Sehingga pada waktu itu, orang-orang Korintus tidak bisa membedakan antara makanan dan minuman yang biasa dengan unsur kudus dari roti dan anggur yang di dalamnya mereka menerima tubuh dan darah Kristus.[25] Nats ini menjelaskan mengenai kesatuan gereja yang terganggu disebabkan keangkuhan dan kebanggaan kelompok-kelompok pemecahbelah, tetapi ada juga beberapa orang yang memahami hal tersebut sebagai suatu sikap rohani yang tepat ketika melaksanakan Perjamuan Tuhan.[26]
Ayat 28-29 :
Paulus menasehati orang-orang Perjamuan Tuhan bukan untuk memenuhi ukuran-ukuran moralitas atau kesalehan, tetapi untuk mempertahakan sikap yang benar terhadap kasih karunia tersebut, karena mereka yang menerima karunia-karunia Allah harus mempertanggungjawabkan penggunaan dan penyalahgunaannya pada hari penghakiman. Tetapi murka Allah jatuh pada orang-orang berdosa, dimana barangsiapa yang makan dan minum tanpa mengakui tubuh Tuhan, ia mengundang hukuman atas dirinya. Karena Sakramen menawarkan kasih karunia yang murni, tetapi bagi siapa yang menyalahgunakannya akan mendapat hukuman “kutukan”. Tubuh dapat diartikan sebagai gereja, disini Paulus mengatakan kegagalan orang-orang Korintus karena mereka menyalahgunakan sakramen,  bertindak tanpa mengenal kasih kepada sesama Kristen yang lebih miskin. Menyakiti seorang saudara Kristen berarti menyakiti Kristus sendiri, karena persekutuan didalam jemaat merupakan satu tubuh Kristus sebagai gereja.[27]
Ayat 30 :
Makan dan minum secara layak bukanlah semacam jaminan ajaib terhadap sakit-penyakit dan kematian, namun penolakan terhadap kasih karunia menempatkan seseorang kembali ke dalam dunianya yang lama, yang dikuasai oleh dosa dan maut, serta kuasa-kuasa iblis. Mereka menyalahgunakan sakramen itu haya berharap untuk melihat kuasa-kuasa jahat yang lama bekerja di antara mereka.[28]
Ayat 31-32 :
Pengujian diri yang jujur dan sungguh-sungguh membawa pada pertobatan dan pada penerimaan secara layak karunia-karunia sakramen. Ketika kita menerima hukuman Allah (penyakit bahkan kematian sebagai agen penghakiman)  sebagai orang percaya, semua itu mempunyai maksud yang positif dalam rencana Allah. Penderitaan yang diberikan Allah bukan untuk menghancurkan, tetapi sebagai disiplin yang bertujuan membawa kita pada iman yang lebih mendalam dan kemuliaan terakhir.[29] Penghukuman sementara kepada orang percaya yang  menyakiti gereja, mungkin merupakan tindakan kasih untuk menghindarkan mereka dari hukuman yang lebih parah yang terkait dengan penghancuran gereja. Dunia berdiri dibawah penghakiman Allah (1 Kor.11: 32) dan  sungguh-sungguh membutuhkan rekonsiliasi (2 Kor.5: 19; Roma 11:15).[30]
Ayat 33 :
Paulus menasehatkan dengan lembut kepada saudara-saudara dalam iman, bila mereka berkumpul untuk makan pada perjamuan-perjamuan kasih dan ikut serta di dalam sakramen, orang-orang Korintus harus menantikan seorang akan yang lain untuk memastikan bahwa tak ada orang yang pulang dengan kelaparan.[31]
Ayat 34 :
Rumah adalah tempat untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan fisik diri sendiri, sedangkan perhimpuan jemaat adalah tempat untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan rohani dan untuk merayakan kasih Allah di dalam Kristus dengan jalan berbagi dengan sesama saudara Kristen.[32]

VI.         Makna Roti Dan Anggur dalam Perjamuan Kudus
Dalam Perjamuan Kudus, Roti dan Anggur dipahami sebagai tubuh dan darah Yesus. Roti dan Anggur yang digunakan dalam Perjamuan Kudus terkandung dalam firman Allah dan terikat padanya. Firman itulah yang membuatnya menjadi sakramen dan memisahkannya sehingga sakramen itu bukanlah Roti dan Anggur biasa. Artinya orang Kristen harus memandang menghayati Roti dan Anggur itu didalam firman.[33] Terdapat makna dari Roti dan Anggur dalam sakramen perjamuan kudus, yaitu:[34]
1. Roti melambangkan Tubuh Kristus, mengingatan dan memperingati tubuh Yesus yang disalibkan. Makan tubuh Kristus dalam arti kita dipersatukan dengan Dia, dengan menerima apa yang dilakukan-Nya bagi manusia, Yoh 6:48-58. Makan roti mengingatkan bahwa Yesus menjadi manusia supaya tubuh manusiawi itu disalibkan. Ia menderita dan mati serta bangkit, untuk menciptakan Tubuh baru, yaitu jemaatNya
2. Anggur melambangkan darah Kristus yang ditumpahkan untuk menyucikan dosa-dosa manusia. Darah ditumpahkan pada atau dari tubuh Yesus yang terpaku di kayu salib untuk pengam-punan atau penghapusan dosa seluruh manusia. Darah yang adalah hidup, ditumpahkan agar memberi hidup kekal bagi manusia. Minum anggur dari cawan pada saat Perjamuan Kudus, mengingatkan kita bahwa Yesus sendiri telah minum cawan murka Tuhan Allah yang seharusnya diterima manusia.
Gereja-gereja Protestan umumnya lebih menekankan perjamuan sebagai peringatan akan kematian dan pengorbanan Yesus bagi umat manusia. Ketiga makna Roti dan Anggur diatas terlihat dalam surat Paulus kepada jemaat di Korintus, di mana Paulus menetapkan aturan perjamuan kudus berdasarkan kesaksian yang diterimanya pada saat itu, yang terdapat dalam:
1 Korintus 11:25
“Yesus mengambil roti lalu mengucap syukur atasnya, sesudah itu Ia memecah-mecahkannya dan berkata: "Inilah tubuhKu, yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku!" Lalu ia mengambil cawan anggur dan berkata: "Cawan ini adalah perjanjian baru yang dimeteraikan oleh darahKu; perbuatlah ini, setiap kali kamu meminumnya, menjadi peringatan akan Aku!”
Pasal dan ayat inilah yang biasa dipakai dalam pelaksanaan Sakramen Perjamuan Kudus di gereja-gereja Kristen sampai saat ini.[35] Tujuan dari Perjamuan Kudus adalah[36] :
·         Sebagai dasar yang mendorong kita untuk memperoleh pengampunan dosa dalam perjuangan kita melawan segala dosa, maut dan segala kemalangan.
·         Untuk Peneguhan Iman, Perjamuan Kudus diberikan sebagai makanan dan penyegaran iman sehari-hari sehingga iman kita dapat bertumbuh lagi dan memperbaharui kekuatannya agar tidak jatuh lagi.

VII.          Teologi Perjamuan Kudus Sebagai Tanda Kesatuan Jemaat Dalam Kristus “Unio Mystica”
Melalui tafsiran 1 Korintus dapat ditarik suatu Teologi, yaitu Teologi Kesatuan Jemaat. Dimana Paulus dalam penjelasan akan pengajarannya menempatkan Perjamuan Kudus dalam konteks persekutuan di meja makan, artinya makna persekutuan memainkan peranan penting dalam kehidupan orang Kristen mula-mula. Ini menjadi alasan Paulus mengartikan Perjamuan Kudus dalam pengertian persekutuan, dimana roti yang dipecah-pecahkan adalah persekutuan (Koinonia) dalam tubuh Kristus, demikian juga cawan pengucapan syukur adalah persekutuan dalam darah Kristus. Persekutuan (Koinonia) mempunyai arti teologis yang dalam, orang-orang yang ikut dalam Perjamuan Kudus tidak bersifat formalitas, tetapi melibatkan keseluruhan pribadi orang yang mengikutinya. Perjamuan Kudus merupakan tolak ukur untuk melihat kesetiaan seseorang yang sesungguhnya. Sehingga menjadi jelas bahwa persekutuan orang-orang Kristen mencakup semua orang yang mengambil bagian dalam Kristus dan karena itu dipersatukan di dalam satu tubuh. Dalam Perjamuan Kudus terkandung dasar teologis untuk kesatuan. Pelaksanaan Perjamua Kudus juga dilakukan untuk memberitakan peristiwa yang bersejarah di masa lampau yaitu kematian Kristus sebagai pusat iman Kristen.[37]
Dalam Perjamuan Kudus ada dua hal yang perlu dibedakan, yaitu tanda dan yang ditandai. Sebagai tanda yaitu Roti dan Anggur, yang ditandai yaitu materai. Dimana Tuhan Yesus sendiri yang mengatur Perjamuan Kudus sebagai sakramen untuk menerangkan bahwa kesengsaraan dan kematian-Nya mendatangkan anugerah kepada tiap orang yang percaya. Orang melakukan Perjamuan Kudus berarti tidak saja bersekutu dengan orang-orang percaya, tetapi juga bersekutu dengan Kristus. Persekutuan yang dimaksud bukan persekutuan secara lahir, tetapi secara rohani yang sungguh-sungguh. Seperti Roti dan Anggur yang masuk dalam tubuh kita akan hancur dan meresap kedalam, menjadi daging dan darah, inilah yang dikatakan Unio Mystica, kesatuan yang gaib yaitu kesatuan secara roh. Dalam Perjamuan Kudus ada dua pihak, pihak dari Tuhan dan pihak dari kita. Pihak dari Tuhan, Perjamuan Kudus dijadikan materai dari semua yang telah dicapai oleh Tuhan Yesus  untuk setiap orang percaya. Dari pihak kita/manusia, Perjamuan Kudus menyatakan kepercayaannya dan menunjukkan bahwa mereka semua itu menjadi anggota dari satu jemaat dan satu Tuhan.[38]

VIII.       Implikasi Teologis Perjamuan Kudus bagi Jemaat.
Dengan melihat kesimpulan dari Teologi Kesatuan Jemaat didalam Kristus, maka dalam Perjamuan Kudus yang merupakan peringatan kematian dan kebangkitan Kristus merupakan suatu pesta sukacita, dimana dosa umat manusia telah ditebus dan menerima Perjamuan Kudus sebagai pengampunan agar menerima kehidupan yang kekal. Tuhan Yesus memberikan tubuh dan darahNya menjadi makanan dan minuman supaya kita bisa berdiam dalam Tuhan, dan Tuhan berdiam dalam kita. Kemudian kita dikuatkan dalam pembaharuan hidup setiap hari. Secara mendasar Perjamuan Kudus berfungsi sebagai peringatan, meneguhkan kepercayaan, membaharui hidup, mendamaikan hubungan dan peduli terhadap sesama.[39] Tentulah hal ini menjadi suatu hal yang penting yang harus dipahami jemaat Kristen dalam memaknai Perjamuan Kudus. Agar jemaat juga menemukan suatu rasa kesatuan yang benar untuk bersekutu dalam Kristus, supaya tidak lagi terjadi perpecahan di dalam jemaat Kristen karena adanya pemahaman yang salah dan pelaksanaan Perjamuan Kudus dapat dilakukan dengan baik dan benar di dalam jemaat Kristen masa kini.

IX.         Kesimpulan
Perjamuan Kudus adalah kewajiban orang Kristen, sebagai orang-orang Kristen yang benar harus mengikuti Perjamuan Kudus, karena disinilah iman kita menjadi tergerak untuk semakin bertumbuh dan diperbaharui. Melakukan Perjamuan Kudus bukanlah untuk kepentingan orang lain, tetapi untuk kepentingan diri masing-masing yang secara iman membutuhkannya. Karena kelemahan daging yang membuat manusia tidak dapat melawan dosa, sehingga disadarilah bahwa melalui Perjamuan Kudus yang diterima dengan keyakinan akan meneguhkan iman seseorang dalam menjalani kehidupannya. Perjamuan Kudus adalah anugerah Allah yang diberikan kepada semua orang yang percaya kepada Kristus, yang telah memberikan diriNya demi keselamatan umat manusia. Yesus sendiri yang memberikan diriNya, itu berarti suatu undangan yang sangat berharga, di mana semua orang percaya dilayakkan untuk ikut dalam Perjamuan Tuhan. Kita manusia yang tidak layak karena keberdosaan kita, oleh diri Yesus Kristus, sekarang kita dilayakkan dan berhak untuk mewarisi janji keselamatan dan penyertaan Tuhan dalam kehidupan kita. Jadi Perjamuan Kudus seharusnya tidak ditentukan oleh perasaan manusia atau orang percaya, melainkan seharusnya sikap semua orang percaya adalah menerima keselamatan yang diberikan melalui Perjamuan Kudus, tanpa mempertimbangkan apakah ia siap atau tidak siap. Sebaiknya kapan saja Tuhan memanggil kita untuk ikut dalam perjamuanNya, maka seharusnya kita dengan segera bangkit dan bergegas mendekatkan diri ke hadirat Tuhan yang maha baik itu.
Perjamuan Kudus itu harus menjadi sarana berefleksi bagi jemaat untuk mengambil sikap sebagai pendamai bagi sesama. Sebagaimana Kristus telah mengorbankan dirinya sebagai kurban pendamaian bagi umat yang berdosa, demikianlah hendaknya semua orang percaya dalam Perjamuan Kudus itu bersedia untuk diperdamaikan oleh Yesus Kristus dengan semua orang. Maka kesatuan jemaat didalam Kristun pun akan terwujud, dimana kasih akan terpelihara didalam kehidupan persekutuan jemaat Kristen sehari-hari. Bersedia diperdamaikan Kristus berarti bersedia menjalin hubungan yang baru, bersedia memaafkan saudara yang mungkin pernah menyakiti perasaan kita.




[1] C.J. Den Heyer, Perjamuan Tuhan, BPK Gunung Mulia Jakarta:1997, Hlm.18-19.
[2] J.D. Douglas, Perjamuan Kudus dalam Ensklopedia Alkitab Masa Kini, Yayasan Komunikasi Bina Kasih, Jakarta; 2011,hlm.247
[3] Lih. H.H. Rowley, Ibadat Israel Kuno, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2010: hlm. 70
[4] Lih. F.L. Bavink, Sejarah Kerajaan Allah I, BPK Gunung Mulia,Jakarta 1990: hlm. 283- 285
[5] W.J. Kooiman, Martin Luther, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2006), hlm. 213.
[6] Ursinus Caspar, Katekhismus Heidelberg (Pengajaran Agama Kristen), (Jakarta: BPK-Gunung Mulia,2007), hlm. 51.
[7] Bob Utley, Surat-surat Paulus kepada Gereja-gereja yang bermasalah: I-II Korintus, (Marshall, Texas: Bible Lesson International, 1997), hlm. 1-2
[8] Willi Marxsen, Pengantar Perjanjian Baru, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2008), hlm. 73-83
[9] V.C. Pfitzner, Kesatuan Dalam Kepelbagaian, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2004), hlm.210
[10] Bob Utley, Surat-surat Paulus kepada Gereja-gereja yang bermasalah: I-II Korintus, (Marshall, Texas: Bible Lesson International, 1997), hlm.189
[11] V.C. Pfitzner, Ibid, hlm.211
[12] V.C. Pfitzner, Ibid, hlm. 211
[13] Bob Utley, Ibid, hlm.190
[14] V.C. Pfitzner, Ibid, hlm.212
[15] V.C. Pfitzner, Ibid, hlm.213
[16] Bob Utley, Ibid, hlm.190-191
[17] V.C. Pfitzner, Ibid, hlm.213
[18] V.C. Pfitzner, Ibid, hlm.216
[19] Bob Utley, Ibid, hlm.193
[20] V.C. Pfitzner, Ibid, hlm.217
[21] Bob Utley, Ibid, hlm.193
[22] V.C. Pfitzner, Ibid, hlm.219-220
[23] Bob Utley, Ibid, hlm.194
[24] V.C. Pfitzner, Ibid, hlm.220
[25] V.C. Pfitzner, Ibid, hlm.222
[26] Bob Utley, Ibid, hlm.196
[27] V.C. Pfitzner, Ibid, hlm.223-224
[28] V.C. Pfitzner, Ibid, hlm.224-225
[29] V.C. Pfitzner, Ibid, hlm.225
[30] Bob Utley, Ibid, hlm.196
[31] V.C. Pfitzner, Ibid, hlm.226
[32] V.C. Pfitzner, Ibid, hlm.226
[33] Marthin Luther, Katekismus Besar, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia,2012), hlm. 209-210
[34] Rasid Rachman, Hari Raya Liturgi, BPK Gunung Mulia Jakarta: 2001,hlm. 80-81.

[35] Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen, Jakarta: BPK 2001, 241
[36] Marthin Luther, Ibid, hlm. 211-212
[37] Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 3, (Jakarta, BPK-Gunung Mulia, 1998). hlm. 86-88
[38] R. Soedarmo, Ikhtisar Dogmatika, (Jakarta, BPK-Gunung Mulia, 2011).hlm.245-246
[39] Victor Tinambunan, Bohal ni Parhalado Dohot Ruas ni Huria, L-Sapa STT HKBP P. Siantar: 2012, hlm. 33-37. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"Membangun Jiwa Kepemimpinan Sejati Dari Sudut Kekristenan"

“Membangun Jiwa Kepemimpinan Sejati Dari Sudut Kekristenan” Oleh : Joki Manaek Manalu (11. 2623) Mahasiswa STT HKBP Pematangsiantar ...