“SPIRITUALITAS PERSAUDARAAN
DALAM PERSEKUTUAN”
Oleh : Joki Manaek Manalu
Mahasiswa STT-HKBP Pematangsiantar
I.
PENDAHULUAN
Spiritualitas
yang berasal dari bahasa Ibrani yaitu “Ruach” artinya spirit atau roh, namun
secara luas kata ini juga berarti nafas atau angin. Dapat diartikan bahwa
Spiritualitas adalah sesuatu yang memberikan kehidupan maupun semangat bagi
seseorang, selain itu spiritualitas juga berkaitan dengan kehidupan iman,
khususnya dalam hal ini kehidupan Kristen. Sehingga dapat digambarkan
spiritualitas bagi orang Kristen menyangkut cara kehidupan Kristen dipahami dan
dihayati. Di dalam kehidupan sehari-hari, penilaian terhadap kehidupan Kristen
seseorang dinilai dari kehidupan spiritualitasnya kepada Tuhan. Tidak cukup
sampai disana, spiritualitas kekristenan juga mencakup hubungan spiritualitas
persaudaraan dalam persekutuan, artinya bagaimana suatu hubungan spiritualitas
juga tercipta di dalam suatu persekutuan Kristen di tengah-tengah gereja. Hal
inilah yag akan diangkat oleh penulis mengenai Spiritualitas Persaudaraan
Kristen, yang dapat menjadi tonggak atau dasar dari persekutuan orang-orang
Kristen. Sebagai orang Kristen, hendaknya melakukan 2 pelayanan, pelayanan
kepada Allah dan pelayanan kepada sesama manusia. Dengan menjaga dan
menciptakan spiritualitas persaudaraan dalam persekutuan berarti kita telah
melakukan pelayanan kepada sesama, sehingga buah dari spiritualitas
persaudaraan itu adalah menjadi berkat bagi sesama manusia.
II.
PEMBAHASAN
Sebelum mengenal
apa itu Spiritualitas Persaudaraan, tentunya kita terlebih dahulu harus
mengenal arti persaudaraan dari sudut kemanusiaan. Persaudaraan bukan hanya
dikenal sebagai suatu hubungan darah atau adanya ikatan keluarga, lebih jauh
persaudaraan sangat mencerminkan adanya hubungan saling membutuhkan antara satu
dengan yang lain. Terlebih dalam penggunaan spiritualitas dalam hubungan
persaudaraan, tentulah sangat memiliki makna yang lebih mendalam. Manusia
terpanggil untuk mewujudkan persaudaraan secara manusiawi dan menghayati
persaudaraan sebagai suatu perjalanan spiritual.
2.1
Persaudaraan
merupakan nilai manusiawi
Dalam kehidupan
manusia sehari-hari memiliki tujuan untuk menjalin hubungan antar manusia, karena manusia tidak dapat
hidup sendiri dan tidak dapat melakukan segala sesuatunya dengan sendiri. Namun
menciptakan rasa persaudaraan yang baik antar manusia tidaklah mudah, karena
manusia memiliki batas-batas pribadi yang ditunjukkan melalui sifat
“egosentrisme” alami dari dalam diri manusia, hal itu dapat membuat kita
memusatkan segala sesuatu hanya pada diri sendiri. Jika kita ingin menjadi
manusia yang sehat, kita harus mampu mengabaikan kebutuhan alamiah tersebut dan
mau membuka diri terhadap orang lain yang dapat membantu kita. Persaudaraan akan
membuat ruang aman karena didukung banyak unsur persamaan, dengan menjalin
persaudaraan kita juga mampu menjadi diri kita sendiri tanpa merasa tertekan,
karena orang lain akan memberi pegangan kepada kita dengan masukan-masukan yang
mebangun dan kita menjadi mampu mengembangkan kualitas kehidupan kita menjadi
lebih baik lagi.[1]
2.2
Spiritualitas
Kristen
Spirituaitas
Kristen menjadi landasan menuju tercapainya spiritualitas persaudaraan.
Spiritualitas Kristen menunjuk pada cara kehidupan Kristen, bagaiman seorang
Kristen mampu memahami dan mempraktekkan imannya dalam kehidupannya. Didalam
spiritualitas Kristen, setiap orang dapat memperdalam pengalaman didalam Tuhan.
Untuk mengetahui kegunaan spiritualitas Kristen, kekristenan memiliki tiga
unsur [2]:
·
Kekristenan
sebagai serangkaian keyakinan : meski dalam Kristen
terdapat perbedaaan dogma-dogma, tetapi relatih menunjukkan suatu inti
keyakinan bersama dibalik keanekaragaman dogma Kekristenan.
·
Kekristenan
sebagai serangkaian nilai : Kekristenan merupakan iman yang sangat kuat
terkait dengan etika, namun kekristenan bukan berarti serangkaian aturan dimana
orang-orang Kristen harus mematuhi secara mekanistis, namun merupakan
serangkaian nilai yang dilakukan dengan kesadaran bahwa dia telah ditebus oleh
Yesus, dan hal itu menjadi landasan kehidupan iman orang Kristen. Maka,
kehidupan yang dipenuhi spirit
diharapkan mencerminkan serta mengaplikasikan nilai-nilai Kristen dalam
kehidupan sehari-hari.
·
Kekristenan
sebagai sebuah cara hidup : Menjadi seorang Kristen
bukan sekedar memilki kepercayaan, melainkan menyangkut kehidupan nyata di mana
berbagai ide dan nilai di aplikasikan dalam cara hidup sehari-hari. Kehidupan
sehari-hari orang beriman pastilah dipengaruhi oleh iman mereka sendiri.
Kehidupan orang Kristen tercermin dalam peribadahan, berdoa, serta komunitas
perkumpulan yang ada di gereja. Sehingga keseluruhan dari cara hidup seorang
Kristen, akan disebut dengan “Spiritualitas” kehidupan.
2.3
Persaudaraan
sebagai perjalanan “spiritual” yang dimulai dari Allah
Persaudaraan
merupakan suatu nilai manusiawi dan dan Kristiani yang sangat penting.
Persaudaraan memiliki nilai yang amat penting dalam kehidupan religius, karena
sebenarnya Allah menghendaki agar semua manusia yang diciptakan seturut gambar
dan keserupaan dengan Allah, dipanggil untuk membentuk suatu keluarga umat
manusia dan memperlakukan satu sama lain dalam semangat persaudaraan. Di dalam
Matius 23:8-9 dikatakan mengenai persekutuan, komunio, gereja. Orang-orang yang
mendengar firman Allah serta melakukannya merupakan bagian dari keluarga
Kristus.[3]
Maka kita melihat orang lain sebagai saudara kita
yang dikaruniakan oleh Allah. Perjalanan itu memerlukan pengabdian seluruh
pribadi kita dan pasti berlangsung selama hidup kita. Kita harus 'menyesuaikan
diri' dengan tuntutan-tuntutan hidup persaudaraan melalui sikap dan perilaku
kita. Allah tidak hanya memberi hal yang indah dan menyenangkan, tetapi segala
sesuatu yang ada dan hal yang kita takuti atau jijikkan, hal yang membuat kita
cemas dan enggan. Allah adalah pencipta manusia yang hidupnya terancam dan
fana. Untuk menerima pribadi kita dari tangan Allah dengan segala keterbatasan
dan kelemahannya, kita harus merekonsiliasi diri dengan diri kita dan dengan
Allah. Kita melarikan diri setiap kali melihat dari kenyataan hidup kita
sebagai makhluk yang tercipta. Kita hanya membayangkan Allah sebagai Allah yang
memenuhi cita-cita kita akan hidup manusia yang kuat. Dengan menyangkal
kenyataan keberadaan kita sendiri, sebagian besar diri kita dikesampingkan dari
pengenalan diri dan dari pemahaman kita tentang Allah. Maka spiritualitas
persaudaraan menuntut pertama-tama bahwa kita bersaudara dengan segi keberadaan
kita sendiri yang tak diinginkan dan disembunyikan, yaitu kelemahan kita,
ketidakmampuan kita, keterbatasan kita (secara psikis, sosial, afektif,
intelektual), dan dengan kesakitan dan maut. Jika kita sungguh bersaudara
dengan diri kita, maka kita juga sungguh menerima Allah sebagai Bapa dalam
hidup kita, yaitu sebagai pemberi segala sesuatu yang ada. Tidak ada lagi hal
yang dikesampingkan karena tak diinginkan atau disangkal. Kita tidak menutup
lagi mata terhadap pemberian - apa pun juga - yang setiap hari lagi kita terima
dari tangan Allah. Jika kita menyebut Allah Bapa kami, maka entah itulah suatu langkah yang
menyangkut seluruh hidup kita, atau tidak lebih daripada dalih untuk mempunyai
hati nurani yang tenang dan 'perasaan religius' yang baik Jadi spiritualitas persaudaraan merupakan
pertama-tama hubungan dengan Allah yang meliputi dan meresapi segala sesuatu. Karena itu
persaudaraan merupakan suatu 'panggilan' dari Allah. Ketika kita memenuhi
panggilan itu, kita mencapai kedewasaan rohani. Dengan demikian kita diubah
oleh Allah.[4]
2.4
Mencapai
Kasih dengan hidup dalam Spiritualitas Persaudaraan
Persaudaraan adalah
cita-cita kehidupan yang diharapkan seluruh manusia. Dengan hidup dalam
Spiritualitas Persaudaraan yang berakar dan berdasarkan cinta kasih hendaknya
menjadi gambaran perdamaian menyeluruh dalm Kristus, karena persaudaraan
mencakup hubungan dengan seluruh ciptaan Allah. Suatu persekutuan hidup dalam
persaudaraan adalah orang-orang yang telah percaya kepada Firman Allah.[5]
Dalam kehidupan sosial masyarakat, orang Kristen dituntut untuk mampu hidup
bersama dengan orang lain. Dengan dasar, bahwa kita orang Kristen telah
menerima pengajaran Yesus akan kebenaran dan kasih, sehingga orang Kristen
harus mampu memiliki kasih persaudaraan yang tulus, ikhlas dengan mengasihi
orang lain dengan segenap hati. Ketika kita mengaatakan bahwa kita mengasihi
Allah, secara tidak langsung disana kita telah berani menyatakan diri kita
untuk mengasihi orang lain. Ketika kita mampu mengasihi orang lain, maka kita
juga telah mengasihi Allah dalam hidup kita. Meski dalam kenyataan kehidupan di
Indonesia, masih banyak terdapat hambatan bagi orang Kristen dalam membangun
gereja/rumah ibadah. Sebelum kita menyalahkan orang lain, terlebih dahulu kita
bertanya pada diri kita “mengapa orang lain tidak menyukai kita?” pastilah ada
masalah dalam kasih persaudaraan. Jika orang Kristen tahu bagaimana mengasihi
orang lain diluar agama Kristen, pastilah mereka juga tahu bagaimana caranya
mengasihi kita, apalagi jika kehadiran orang Kristen membawa berkat dan manfaat
bagi mereka tidak mungkin orang Kristen mendapat penolakan.[6]
Karena panggilan dari Allah
itu yang meliputi seluruh hidup kita dan menyangkut segala aspeknya, kita
menjadi saudara setiap orang. Kita menghadapi orang lain sebagai orang yang
diberi kepada kita oleh Allah. Panggilan
fundamental akan persaudaraan itu bisa sungguh berkembang dalam persekutuan
saudara-saudara. Dengan demikian kita mengalami dan melihat orang lain sebagai
saudara dan sesama kita dalam Allah. Sebagai manusia kita sangat berbeda.
Setiap orang berbeda dari yang lain karena identitasnya sebagai pribadi.
Perjalanan spiritual berarti bahwa kita melihat dalam perbedaan dan
ketidakcocokan orang lain tuntutan dari Allah yang sama sekali lain dari kita.
Hidup dalam persekutuan berarti kita menerima orang lain dalam hidup kita. Kita
merasa takut terhadap orang lain. Orang lain menimbulkan agresi kita. Karena ia
tak terpahami dan tak sesuai dengan apa yang kita kenal atau yang biasa bagi
kita. Selalu ada bahayanya bahwa kita mereduksi orang lain untuk menjadikannya
sama dengan kita. Kita menuntut dari orang lain agar ia menyesuaikan diri
dengan ciri khas kita, dengan norma-norma, ide-ide, kebiasaan-kebiasaan
dan sikap kita. Namun dalam perbedaan itu kita harus menganggap dan mengalami
orang lain sebagai 'saudara' yang berasal dari Bapa yang sama dan sebagai karunia
yang tak terduga. Dengan demikian orang lain diberi kesempatan untuk menyatakan
kepada kita wajah yang sesungguhnya. Melalui Kristus datang kepada kita, melalui Kristus
mengajak kita untuk membuka diri bagi kenyataan. Karena itu orang yang tak
dikenal tidak hanya merupakan tugas dan beban bagi kita, melainkan pertam-tama
suatu “panggilan”. Spiritualitas persaudaraan adalah kesempatan
untuk melatih diri sunguh-sungguh berhubungan dengan Allah. Persaudaraan tidak
merupakan nilai tambahan yang gunanya hanya praktis. Persaudaraan tak hanya
memenuhi kebutuhan psikososial kita dan bermaksud agar kita bersama-sama
menjadi lebih efisien. Persaudaraan adalah ruangan spiritual di mana kita bisa
sungguh-sungguh menjadi orang religius, yaitu orang yang hidup dalam
persekutuan dengan Allah, sehingga kita senantiasa diubah dalam Allah. Dalam
persaudaraan kita tidak melihat orang lain secara dangkal saja sebagaimana
tampak rupanya, melainkan dengan mata Allah kita melihat hakikatnya yang
paling mendalam. Kita tidak melihat orang lain dalam kenyataannya yang
terbatas, sebagaimana ia tampil sampai sekarang dan sebagaimana ia telah
menjadi, melainkan kita melihatnya dalam perkembangannya karena cinta-kasih
Allah yang meningkatnya dan menjadikannya indah. Dalam keterasingan yang kita
alami terhada orang lain, Allah
datang kepada kita sebagai Allah yang mutlak. Dengan demikian Ia memanggil kita
untuk menerima cinta kasih dan belas kasih-Nya.
2.5 Spiritualitas
Persaudaraan dalam Persekutuan
Dalam cerita
penciptaan, Allah menciptakan manusia segambar dengan-Nya. Laki-laki dan
perempuan berasal dari Allah dan keduanya saling melengkapi, Allah juga
menyempurnakan laki-laki dan perempuan dengan akal budi dan kebebasan.
Pemberian wewenang pada manusia atas segenap ciptaan Allah merupakan bentuk
persekutuan pribadi. Persekutuan diantara keduanya (laki-laki dan perempuan)
merupakan bentuk pertama persekutuan antarpribadi. Dalam persekutuan itu
ditekankan kesamaan martabat dan kesetaraan laki-laki dan perempuan,
persekutuan itu tidak menghapus perbedaan laki-laki dan perempuan. Itulah
sebabnya dalam persekutuan terkandung tugas mulia, untuk saling melengkapi
supaya semakin berkembang. Penciptaan laki-laki dan perempuan menjadi dasar
terciptanya suatu persekutuan antar individu.[7]
Persaudaraan merupakan latihan rohani bagi orang
religius yang hidup dalam persekutuan. Dan sebagai model hidup spiritual,
persaudaraan menjadi teladan yang menunjuk kepada setiap orang kemungkinan
untuk melatih diri agar mewujudkan panggilan persaudaraan. Persekutuan orang
religius mewujudkan persaudaraan dalam hidupnya di dunia kita yang ditandai
oleh ketidaksetaraan, penyalahgunaan dan kekerasan. Dengan demikian orang
religius akan mengenali kemungkinan manusia untuk bertumbuh sampai mencapai
kedewasaan rohani, respek dan penghargaan mendalam terhadap setiap orang
bagaimana pun warna kulitnya dan budayanya. Dalam persaudaraan, orang religius
mengembangkan bentuk-bentuk model perubahan spiritual yang memberi kesempatan
kepada gereja dan manusia untuk bertumbuh sampai kesempurnaan kristiani dan
kesetaraan manusia. Karena itu yang menjadi pusat perhatian spiritualitas
persaudaraan kita ialah di pinggiran masyarakat: yaitu anak-anak, dan orang
lanjut usia (yang belum berperan atau tidak lagi berperan dalam masyarakat),
orang sakit, orang cacat, orang yang dianiaya atau haknya dirampas.
Persaudaraan tak terbatas pada pengabdian sosial dan sikap manusiawi, tetapi
menuju kemanusiaan yang berkaitan dengan hubungan setiap orang dengan Allah.
Persaudaraan membantu orang yang tertindas atau yang lemah secara konkret.
Namun persaudaraan merupakan terutama tempat latihan religius di mana orang
mempelajari budaya religius yang memampukan kita untuk melihat orang lain
dengan mata Allah. Dan hal itu terjadi karena sikap hidup kontemplatif yang
membantu kita untuk mengabdikan diri kepada orang lain secara konkret karena
cinta kasih Allah. Maka persaudaraan sebenarnya bersifat kontemplatif dan
aktif. Inilah kedua kaki yang memampukan orang religius untuk mengikuti jalan
Allah dalam konteks historis yang konkret dunia ini. Persaudaraan membuka mata
kita untuk melihat apa yang ada dan membebaskan kita dari rasionalisasi,
pemalsuan, represi dan pembelaan diri. Sebenarnya inilah mekanisme-mekanisme
untuk menyelamatkan individualitas kita dari pandangan
orang lain yang melukai kita dengan memasuki dunia
kita dan mempersoalkannya. Persaudaraan mengundang kita untuk masuk ke dunia
orang lain, persaudaraan mengajarkan kepada kita bahasa yang tak dikenal dan
membuka mata kita bagi hal yang kita takuti. Dalam persaudaraan kita menerima
orang lain dari tangan Allah sebagai saudara atau saudari, yaitu sebagai
anugerah. Di samping semua kegiatan yang berguna dalam rangka persaudaran,
penghayatan persaudaraan dan kesetiaan pada persaudaraan sebagai panggilan
membuat kita memiliki spiritualitas yang baik, dan lambat laun hidup
persaudaraan itu semakin mengubah kita dalam Allah.
Membahas lebih
lanjut mengenai Spiritualitas persaudaraan dalam persekutuan, spiritualitas dalam persekutuan yang
utama adalah menunjukkan kontemplasi hati ke arah misteri Tritunggal yang
bersemayam dalam batin kita, selain itu kita juga harus mampu mencari wajah
saudara-saudari di sekitar kita. Spiritualitas
dalam persekutuan juga merupakan suatu kecakapan untuk mampu memikirkan
orang lain dalam pangkuan kesatuan mendalam, dengan menganggap mereka adalah
bagian dari diri kita. Dengan demikian, akan memampukan kita untuk merasakan
kegembiraan maupun penderitaan orang lain, serta mampu memperhatikan kebutuhan
orang lain. Spiritualitas dalam
persekutuan mencakup kecakapan untuk memandang segala sesuatu yang positif dalam diri orang
lain serta menghargainya sebagai karunia dari Allah. Spiritualitas dalam persekutuan untun melatih atau menciptakan diri
kita untuk tidak menjadi cinta diri sendiri, sehingga membuat kita melupakan
bahwa ada orang lain di sekitar kita. Karena rasa cinta diri akan menumbuhkan
rasa persaingan, sikap curiga dan iri hati dalam diri kita terhadap orang lain.[8]
III.
KESIMPULAN
Dengan membahas
Spiritualitas persaudaraan dalam persekutuan, akan dapat menopang nilai-nila
pribadi di dalam masyarakat dan menolong manusia untuk dapat menciptakan
hubungan yang baik antar individu,
kelompok, suku, dan agama. Untuk itu Spiritualitas tidak boleh dilihat sebagai
salah satu unsur sampingan, tetapi menjadi basis yang mencakup seluruh aspek
kehidupan. Dalam konteks saat ini di Indonesia, mejadi suatu permasalahan
serius adalah mengenai Pluralisme, dimana
setiap agama hanya fokus pada persekutuan dengan orangorang di agamanya sendiri
sehingga melupakan semboyan yang terdapat dalam Pancasila yaitu “Bhineka
Tunggal Ika”. Hidup dengan orang lain dapat menjadi pengalaman yang menyakitkan
yang mengancam identitas kita. Tapi sebaliknya, hidup dengan orang lain dapat
menjadi sumber yang memperkaya, suatu kesempatan dengan suatu harapan untuk
dapat memberi dan memperoleh dari orang lain secara timbal balik. Untuk kita
sebagai orang Kristen hendaklah membangun kehidupan dan bekerjasama dalam
suasana persaudaraan, dan kita juga harus berani terbuka menerima setiap
pandangan-pandangan baru yang akan memperdalam iman dan membuka wawasan
pemikiran yang baru akan suatu perkembangan yang lebih baik.
[1] Hein Blommestijn o.carm
& Drs. Jos Huls o.carm, Kapitel Umum FIC 2000.
[2]
Alister E. Mc. Grath, Spiritualitas Kristen,
(Medan : Bina Media Perintis, 2007), hlm.3-4
[3]
Yayasan Marsudirini Pusat, Kemarsudirian,
(Yogyakarta : Kanisius, 2010), hlm.77.
[4]
Hein Blommestijn o.carm & Drs. Jos
Huls o.carm, Kapitel Umum FIC 2000.
[5]
Yayasan Marsudirini Pusat, Kemarsudirian,
(Yogyakarta : Kanisius, 2010), hlm.78
[6]
Eka Dharmaputera, Spiritualitas Siap
Juang, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2008), hlm. 99
[7]
Eddy Kristiyanto OFM, Spiritualitas
Sosial, (Yogyakarta: Kanisius, 2010), hlm. 178-179
[8]
Panitia Spiritualitas Koptari, Gaya Hidup
Berkomunitas,(Yogyakarta: Kanisius, 2008),hlm. 114-115
Tidak ada komentar:
Posting Komentar