Jumat, 14 November 2014

Spiritualitas Persaudaran Dalam Persekutuan Kristen

“SPIRITUALITAS PERSAUDARAAN DALAM PERSEKUTUAN”
Oleh : Joki Manaek Manalu
Mahasiswa STT-HKBP Pematangsiantar

I.          PENDAHULUAN
Spiritualitas yang berasal dari bahasa Ibrani yaitu “Ruach” artinya spirit atau roh, namun secara luas kata ini juga berarti nafas atau angin. Dapat diartikan bahwa Spiritualitas adalah sesuatu yang memberikan kehidupan maupun semangat bagi seseorang, selain itu spiritualitas juga berkaitan dengan kehidupan iman, khususnya dalam hal ini kehidupan Kristen. Sehingga dapat digambarkan spiritualitas bagi orang Kristen menyangkut cara kehidupan Kristen dipahami dan dihayati. Di dalam kehidupan sehari-hari, penilaian terhadap kehidupan Kristen seseorang dinilai dari kehidupan spiritualitasnya kepada Tuhan. Tidak cukup sampai disana, spiritualitas kekristenan juga mencakup hubungan spiritualitas persaudaraan dalam persekutuan, artinya bagaimana suatu hubungan spiritualitas juga tercipta di dalam suatu persekutuan Kristen di tengah-tengah gereja. Hal inilah yag akan diangkat oleh penulis mengenai Spiritualitas Persaudaraan Kristen, yang dapat menjadi tonggak atau dasar dari persekutuan orang-orang Kristen. Sebagai orang Kristen, hendaknya melakukan 2 pelayanan, pelayanan kepada Allah dan pelayanan kepada sesama manusia. Dengan menjaga dan menciptakan spiritualitas persaudaraan dalam persekutuan berarti kita telah melakukan pelayanan kepada sesama, sehingga buah dari spiritualitas persaudaraan itu adalah menjadi berkat bagi sesama manusia.

II.       PEMBAHASAN
Sebelum mengenal apa itu Spiritualitas Persaudaraan, tentunya kita terlebih dahulu harus mengenal arti persaudaraan dari sudut kemanusiaan. Persaudaraan bukan hanya dikenal sebagai suatu hubungan darah atau adanya ikatan keluarga, lebih jauh persaudaraan sangat mencerminkan adanya hubungan saling membutuhkan antara satu dengan yang lain. Terlebih dalam penggunaan spiritualitas dalam hubungan persaudaraan, tentulah sangat memiliki makna yang lebih mendalam. Manusia terpanggil untuk mewujudkan persaudaraan secara manusiawi dan menghayati persaudaraan sebagai suatu perjalanan spiritual.

2.1    Persaudaraan merupakan nilai manusiawi
Dalam kehidupan manusia sehari-hari memiliki tujuan untuk menjalin hubungan  antar manusia, karena manusia tidak dapat hidup sendiri dan tidak dapat melakukan segala sesuatunya dengan sendiri. Namun menciptakan rasa persaudaraan yang baik antar manusia tidaklah mudah, karena manusia memiliki batas-batas pribadi yang ditunjukkan melalui sifat “egosentrisme” alami dari dalam diri manusia, hal itu dapat membuat kita memusatkan segala sesuatu hanya pada diri sendiri. Jika kita ingin menjadi manusia yang sehat, kita harus mampu mengabaikan kebutuhan alamiah tersebut dan mau membuka diri terhadap orang lain yang dapat membantu kita. Persaudaraan akan membuat ruang aman karena didukung banyak unsur persamaan, dengan menjalin persaudaraan kita juga mampu menjadi diri kita sendiri tanpa merasa tertekan, karena orang lain akan memberi pegangan kepada kita dengan masukan-masukan yang mebangun dan kita menjadi mampu mengembangkan kualitas kehidupan kita menjadi lebih baik lagi.[1]

2.2    Spiritualitas Kristen
Spirituaitas Kristen menjadi landasan menuju tercapainya spiritualitas persaudaraan. Spiritualitas Kristen menunjuk pada cara kehidupan Kristen, bagaiman seorang Kristen mampu memahami dan mempraktekkan imannya dalam kehidupannya. Didalam spiritualitas Kristen, setiap orang dapat memperdalam pengalaman didalam Tuhan. Untuk mengetahui kegunaan spiritualitas Kristen, kekristenan memiliki tiga unsur [2]:
·         Kekristenan sebagai serangkaian keyakinan : meski dalam Kristen terdapat perbedaaan dogma-dogma, tetapi relatih menunjukkan suatu inti keyakinan bersama dibalik keanekaragaman dogma Kekristenan.
·         Kekristenan sebagai serangkaian nilai  : Kekristenan merupakan iman yang sangat kuat terkait dengan etika, namun kekristenan bukan berarti serangkaian aturan dimana orang-orang Kristen harus mematuhi secara mekanistis, namun merupakan serangkaian nilai yang dilakukan dengan kesadaran bahwa dia telah ditebus oleh Yesus, dan hal itu menjadi landasan kehidupan iman orang Kristen. Maka, kehidupan yang dipenuhi spirit diharapkan mencerminkan serta mengaplikasikan nilai-nilai Kristen dalam kehidupan sehari-hari.
·         Kekristenan sebagai sebuah cara hidup : Menjadi seorang Kristen bukan sekedar memilki kepercayaan, melainkan menyangkut kehidupan nyata di mana berbagai ide dan nilai di aplikasikan dalam cara hidup sehari-hari. Kehidupan sehari-hari orang beriman pastilah dipengaruhi oleh iman mereka sendiri. Kehidupan orang Kristen tercermin dalam peribadahan, berdoa, serta komunitas perkumpulan yang ada di gereja. Sehingga keseluruhan dari cara hidup seorang Kristen, akan disebut dengan “Spiritualitas” kehidupan.

2.3    Persaudaraan sebagai perjalanan “spiritual” yang dimulai dari Allah
Persaudaraan merupakan suatu nilai manusiawi dan dan Kristiani yang sangat penting. Persaudaraan memiliki nilai yang amat penting dalam kehidupan religius, karena sebenarnya Allah menghendaki agar semua manusia yang diciptakan seturut gambar dan keserupaan dengan Allah, dipanggil untuk membentuk suatu keluarga umat manusia dan memperlakukan satu sama lain dalam semangat persaudaraan. Di dalam Matius 23:8-9 dikatakan mengenai persekutuan, komunio, gereja. Orang-orang yang mendengar firman Allah serta melakukannya merupakan bagian dari keluarga Kristus.[3] Maka kita melihat orang lain sebagai saudara kita yang dikaruniakan oleh Allah. Perjalanan itu memerlukan pengabdian seluruh pribadi kita dan pasti berlangsung selama hidup kita. Kita harus 'menyesuaikan diri' dengan tuntutan-tuntutan hidup persaudaraan melalui sikap dan perilaku kita. Allah tidak hanya memberi hal yang indah dan menyenangkan, tetapi segala sesuatu yang ada dan hal yang kita takuti atau jijikkan, hal yang membuat kita cemas dan enggan. Allah adalah pencipta manusia yang hidupnya terancam dan fana. Untuk menerima pribadi kita dari tangan Allah dengan segala keterbatasan dan kelemahannya, kita harus merekonsiliasi diri dengan diri kita dan dengan Allah. Kita melarikan diri setiap kali melihat dari kenyataan hidup kita sebagai makhluk yang tercipta. Kita hanya membayangkan Allah sebagai Allah yang memenuhi cita-cita kita akan hidup manusia yang kuat. Dengan menyangkal kenyataan keberadaan kita sendiri, sebagian besar diri kita dikesampingkan dari pengenalan diri dan dari pemahaman kita tentang Allah. Maka spiritualitas persaudaraan menuntut pertama-tama bahwa kita bersaudara dengan segi keberadaan kita sendiri yang tak diinginkan dan disembunyikan, yaitu kelemahan kita, ketidakmampuan kita, keterbatasan kita (secara psikis, sosial, afektif, intelektual), dan dengan kesakitan dan maut. Jika kita sungguh bersaudara dengan diri kita, maka kita juga sungguh menerima Allah sebagai Bapa dalam hidup kita, yaitu sebagai pemberi segala sesuatu yang ada. Tidak ada lagi hal yang dikesampingkan karena tak diinginkan atau disangkal. Kita tidak menutup lagi mata terhadap pemberian - apa pun juga - yang setiap hari lagi kita terima dari tangan Allah. Jika kita menyebut Allah Bapa kami, maka entah itulah suatu langkah yang menyangkut seluruh hidup kita, atau tidak lebih daripada dalih untuk mempunyai hati nurani yang tenang dan 'perasaan religius' yang baik Jadi spiritualitas persaudaraan merupakan pertama-tama hubungan dengan Allah yang meliputi dan meresapi segala sesuatu. Karena itu persaudaraan merupakan suatu 'panggilan' dari Allah. Ketika kita memenuhi panggilan itu, kita mencapai kedewasaan rohani. Dengan demikian kita diubah oleh Allah.[4]

2.4    Mencapai Kasih dengan hidup dalam Spiritualitas Persaudaraan
Persaudaraan adalah cita-cita kehidupan yang diharapkan seluruh manusia. Dengan hidup dalam Spiritualitas Persaudaraan yang berakar dan berdasarkan cinta kasih hendaknya menjadi gambaran perdamaian menyeluruh dalm Kristus, karena persaudaraan mencakup hubungan dengan seluruh ciptaan Allah. Suatu persekutuan hidup dalam persaudaraan adalah orang-orang yang telah percaya kepada Firman Allah.[5] Dalam kehidupan sosial masyarakat, orang Kristen dituntut untuk mampu hidup bersama dengan orang lain. Dengan dasar, bahwa kita orang Kristen telah menerima pengajaran Yesus akan kebenaran dan kasih, sehingga orang Kristen harus mampu memiliki kasih persaudaraan yang tulus, ikhlas dengan mengasihi orang lain dengan segenap hati. Ketika kita mengaatakan bahwa kita mengasihi Allah, secara tidak langsung disana kita telah berani menyatakan diri kita untuk mengasihi orang lain. Ketika kita mampu mengasihi orang lain, maka kita juga telah mengasihi Allah dalam hidup kita. Meski dalam kenyataan kehidupan di Indonesia, masih banyak terdapat hambatan bagi orang Kristen dalam membangun gereja/rumah ibadah. Sebelum kita menyalahkan orang lain, terlebih dahulu kita bertanya pada diri kita “mengapa orang lain tidak menyukai kita?” pastilah ada masalah dalam kasih persaudaraan. Jika orang Kristen tahu bagaimana mengasihi orang lain diluar agama Kristen, pastilah mereka juga tahu bagaimana caranya mengasihi kita, apalagi jika kehadiran orang Kristen membawa berkat dan manfaat bagi mereka tidak mungkin orang Kristen mendapat penolakan.[6]
Karena panggilan dari Allah itu yang meliputi seluruh hidup kita dan menyangkut segala aspeknya, kita menjadi saudara setiap orang. Kita menghadapi orang lain sebagai orang yang diberi kepada kita oleh Allah. Panggilan fundamental akan persaudaraan itu bisa sungguh berkembang dalam persekutuan saudara-saudara. Dengan demikian kita mengalami dan melihat orang lain sebagai saudara dan sesama kita dalam Allah. Sebagai manusia kita sangat berbeda. Setiap orang berbeda dari yang lain karena identitasnya sebagai pribadi. Perjalanan spiritual berarti bahwa kita melihat dalam perbedaan dan ketidakcocokan orang lain tuntutan dari Allah yang sama sekali lain dari kita. Hidup dalam persekutuan berarti kita menerima orang lain dalam hidup kita. Kita merasa takut terhadap orang lain. Orang lain menimbulkan agresi kita. Karena ia tak terpahami dan tak sesuai dengan apa yang kita kenal atau yang biasa bagi kita. Selalu ada bahayanya bahwa kita mereduksi orang lain untuk menjadikannya sama dengan kita. Kita menuntut dari orang lain agar ia menyesuaikan diri dengan ciri khas kita, dengan norma-norma, ide-ide, kebiasaan-kebiasaan dan sikap kita. Namun dalam perbedaan itu kita harus menganggap dan mengalami orang lain sebagai 'saudara' yang berasal dari Bapa yang sama dan sebagai karunia yang tak terduga. Dengan demikian orang lain diberi kesempatan untuk menyatakan kepada kita wajah yang sesungguhnya. Melalui  Kristus datang kepada kita, melalui Kristus mengajak kita untuk membuka diri bagi kenyataan. Karena itu orang yang tak dikenal tidak hanya merupakan tugas dan beban bagi kita, melainkan pertam-tama suatu “panggilan”. Spiritualitas persaudaraan adalah  kesempatan untuk melatih diri sunguh-sungguh berhubungan dengan Allah. Persaudaraan tidak merupakan nilai tambahan yang gunanya hanya praktis. Persaudaraan tak hanya memenuhi kebutuhan psikososial kita dan bermaksud agar kita bersama-sama menjadi lebih efisien. Persaudaraan adalah ruangan spiritual di mana kita bisa sungguh-sungguh menjadi orang religius, yaitu orang yang hidup dalam persekutuan dengan Allah, sehingga kita senantiasa diubah dalam Allah. Dalam persaudaraan kita tidak melihat orang lain secara dangkal saja sebagaimana tampak rupanya, melainkan dengan mata Allah kita melihat hakikatnya yang paling mendalam. Kita tidak melihat orang lain dalam kenyataannya yang terbatas, sebagaimana ia tampil sampai sekarang dan sebagaimana ia telah menjadi, melainkan kita melihatnya dalam perkembangannya karena cinta-kasih Allah yang meningkatnya dan menjadikannya indah. Dalam keterasingan yang kita alami terhada orang lain, Allah datang kepada kita sebagai Allah yang mutlak. Dengan demikian Ia memanggil kita untuk menerima cinta kasih dan belas kasih-Nya.

2.5    Spiritualitas Persaudaraan dalam Persekutuan
Dalam cerita penciptaan, Allah menciptakan manusia segambar dengan-Nya. Laki-laki dan perempuan berasal dari Allah dan keduanya saling melengkapi, Allah juga menyempurnakan laki-laki dan perempuan dengan akal budi dan kebebasan. Pemberian wewenang pada manusia atas segenap ciptaan Allah merupakan bentuk persekutuan pribadi. Persekutuan diantara keduanya (laki-laki dan perempuan) merupakan bentuk pertama persekutuan antarpribadi. Dalam persekutuan itu ditekankan kesamaan martabat dan kesetaraan laki-laki dan perempuan, persekutuan itu tidak menghapus perbedaan laki-laki dan perempuan. Itulah sebabnya dalam persekutuan terkandung tugas mulia, untuk saling melengkapi supaya semakin berkembang. Penciptaan laki-laki dan perempuan menjadi dasar terciptanya suatu persekutuan antar individu.[7]
Persaudaraan merupakan latihan rohani bagi orang religius yang hidup dalam persekutuan. Dan sebagai model hidup spiritual, persaudaraan menjadi teladan yang menunjuk kepada setiap orang kemungkinan untuk melatih diri agar mewujudkan panggilan persaudaraan. Persekutuan orang religius mewujudkan persaudaraan dalam hidupnya di dunia kita yang ditandai oleh ketidaksetaraan, penyalahgunaan dan kekerasan. Dengan demikian orang religius akan mengenali kemungkinan manusia untuk bertumbuh sampai mencapai kedewasaan rohani, respek dan penghargaan mendalam terhadap setiap orang bagaimana pun warna kulitnya dan budayanya. Dalam persaudaraan, orang religius mengembangkan bentuk-bentuk model perubahan spiritual yang memberi kesempatan kepada gereja dan manusia untuk bertumbuh sampai kesempurnaan kristiani dan kesetaraan manusia. Karena itu yang menjadi pusat perhatian spiritualitas persaudaraan kita ialah di pinggiran masyarakat: yaitu anak-anak, dan orang lanjut usia (yang belum berperan atau tidak lagi berperan dalam masyarakat), orang sakit, orang cacat, orang yang dianiaya atau haknya dirampas. Persaudaraan tak terbatas pada pengabdian sosial dan sikap manusiawi, tetapi menuju kemanusiaan yang berkaitan dengan hubungan setiap orang dengan Allah. Persaudaraan membantu orang yang tertindas atau yang lemah secara konkret. Namun persaudaraan merupakan terutama tempat latihan religius di mana orang mempelajari budaya religius yang memampukan kita untuk melihat orang lain dengan mata Allah. Dan hal itu terjadi karena sikap hidup kontemplatif yang membantu kita untuk mengabdikan diri kepada orang lain secara konkret karena cinta kasih Allah. Maka persaudaraan sebenarnya bersifat kontemplatif dan aktif. Inilah kedua kaki yang memampukan orang religius untuk mengikuti jalan Allah dalam konteks historis yang konkret dunia ini. Persaudaraan membuka mata kita untuk melihat apa yang ada dan membebaskan kita dari rasionalisasi, pemalsuan, represi dan pembelaan diri. Sebenarnya inilah mekanisme-mekanisme untuk menyelamatkan individualitas kita dari pandangan orang lain yang melukai kita dengan memasuki dunia kita dan mempersoalkannya. Persaudaraan mengundang kita untuk masuk ke dunia orang lain, persaudaraan mengajarkan kepada kita bahasa yang tak dikenal dan membuka mata kita bagi hal yang kita takuti. Dalam persaudaraan kita menerima orang lain dari tangan Allah sebagai saudara atau saudari, yaitu sebagai anugerah. Di samping semua kegiatan yang berguna dalam rangka persaudaran, penghayatan persaudaraan dan kesetiaan pada persaudaraan sebagai panggilan membuat kita memiliki spiritualitas yang baik, dan lambat laun hidup persaudaraan itu semakin mengubah kita dalam Allah.
                                                                                    
Membahas lebih lanjut mengenai Spiritualitas persaudaraan dalam persekutuan, spiritualitas dalam persekutuan yang utama adalah menunjukkan kontemplasi hati ke arah misteri Tritunggal yang bersemayam dalam batin kita, selain itu kita juga harus mampu mencari wajah saudara-saudari di sekitar kita. Spiritualitas dalam persekutuan juga merupakan suatu kecakapan untuk mampu memikirkan orang lain dalam pangkuan kesatuan mendalam, dengan menganggap mereka adalah bagian dari diri kita. Dengan demikian, akan memampukan kita untuk merasakan kegembiraan maupun penderitaan orang lain, serta mampu memperhatikan kebutuhan orang lain. Spiritualitas dalam persekutuan mencakup kecakapan untuk memandang  segala sesuatu yang positif dalam diri orang lain serta menghargainya sebagai karunia dari Allah. Spiritualitas dalam persekutuan untun melatih atau menciptakan diri kita untuk tidak menjadi cinta diri sendiri, sehingga membuat kita melupakan bahwa ada orang lain di sekitar kita. Karena rasa cinta diri akan menumbuhkan rasa persaingan, sikap curiga dan iri hati dalam diri kita terhadap orang lain.[8]

III.        KESIMPULAN
Dengan membahas Spiritualitas persaudaraan dalam persekutuan, akan dapat menopang nilai-nila pribadi di dalam masyarakat dan menolong manusia untuk dapat menciptakan hubungan  yang baik antar individu, kelompok, suku, dan agama. Untuk itu Spiritualitas tidak boleh dilihat sebagai salah satu unsur sampingan, tetapi menjadi basis yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Dalam konteks saat ini di Indonesia, mejadi suatu permasalahan serius adalah mengenai Pluralisme, dimana setiap agama hanya fokus pada persekutuan dengan orangorang di agamanya sendiri sehingga melupakan semboyan yang terdapat dalam Pancasila yaitu “Bhineka Tunggal Ika”. Hidup dengan orang lain dapat menjadi pengalaman yang menyakitkan yang mengancam identitas kita. Tapi sebaliknya, hidup dengan orang lain dapat menjadi sumber yang memperkaya, suatu kesempatan dengan suatu harapan untuk dapat memberi dan memperoleh dari orang lain secara timbal balik. Untuk kita sebagai orang Kristen hendaklah membangun kehidupan dan bekerjasama dalam suasana persaudaraan, dan kita juga harus berani terbuka menerima setiap pandangan-pandangan baru yang akan memperdalam iman dan membuka wawasan pemikiran yang baru akan suatu perkembangan yang lebih baik.


[1] Hein Blommestijn o.carm &  Drs. Jos Huls o.carm, Kapitel Umum FIC 2000.                                                                   
[2] Alister E. Mc. Grath, Spiritualitas Kristen, (Medan : Bina Media Perintis, 2007), hlm.3-4
[3] Yayasan Marsudirini Pusat, Kemarsudirian, (Yogyakarta : Kanisius, 2010), hlm.77.
[4] Hein Blommestijn o.carm &  Drs. Jos Huls o.carm, Kapitel Umum FIC 2000.
[5] Yayasan Marsudirini Pusat, Kemarsudirian, (Yogyakarta : Kanisius, 2010), hlm.78
[6] Eka Dharmaputera, Spiritualitas Siap Juang, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2008), hlm. 99
[7] Eddy Kristiyanto OFM, Spiritualitas Sosial, (Yogyakarta: Kanisius, 2010), hlm. 178-179
[8] Panitia Spiritualitas Koptari, Gaya Hidup Berkomunitas,(Yogyakarta: Kanisius, 2008),hlm. 114-115

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"Membangun Jiwa Kepemimpinan Sejati Dari Sudut Kekristenan"

“Membangun Jiwa Kepemimpinan Sejati Dari Sudut Kekristenan” Oleh : Joki Manaek Manalu (11. 2623) Mahasiswa STT HKBP Pematangsiantar ...